OPINI - Indonesia terbelah, ini fakta. Tidak menghawatirkan jika para elit tidak merawat dan mengkapitalisasinya. Konflik seringkali dipelihara karena menguntungkan secara politik. Divide et impera, itu praktek lama yang terus menerus dihidupkan. Dalam bahasa sosiologisnya itu bagian dari the function of social conflict. Konflik muncul, bila perlu diciptakan lalu dirawat untuk kepentingan politik. Para jenderal militer khatam soal ini.
Kadrun-cebong, ini fenomena klasik. Lahir sejak kasus Ahok, lalu dirawat oleh dua kubu dengan kepentingan masing-masing. Penguasa merawatnya untuk gebuk pihak-pihak tertentu. Dengan konflik ini FPI dan HTI berhasil dibubarkan. Kelompok sosial tertentu berhasil distigma "membahayakan negara" dan dimusuhi. Kelompok mayoritas diprovokasi untuk membenci dab menyerangnya.
Pihak satunya mengambil konflik ini untuk mengkonsolidasikan kekuatan sosial untuk tujuan tertentu. Masing-masing pihak sengaja saling merawat agar kadrun-cebong tetap eksis untuk melayani kepentingan masing-masing. Keduanya tampak masih menikmati keterbelahan itu. Sejumlah agamawan, budayawan, akademisi dan ilmuan tanpa sadar dipakai jasanya untuk ikut melanggengkan keterbelahan itu. Keterbelahan kadrun-cebong. Dua istilah yang diambil dari nama binatang. Iya, nama binatang. Sangat tidak etis, tapi masing-masing merasa tidak risih dengan sebutan itu. Ini terlalu kasar dan jauh dari aroma mulut masyarakat Indonesia.
Satu hal yang pasti, para akademisi, budayawan, agamawan dan ilmuan yang dilibatkan dalam konflik ini adalah orang-orang yang lugu soal politik. Mereka gak ngerti politik. Hanya dimanfaatkan jasanya untuk menyerang kelompok lainnya.
Kata kuncinya ada di pemimpin yang akan datang. Muncul tiga nama kandidat yang berpeluang memimpin Indonesia: Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo. Dari tiga kandidat ini, siapa yang punya rekam jejak mempersatukan rakyat.
Prabowo? Sejak Prabowo gabung ke Jokowi, diharapkan keterbelahan berakhir. Ternyata, sama sekali tidak. Prabowo membawa diri dan kelompok elitnya untuk berdamai dengan penguasa. Tapi tidak dengan pendukungnya. Ini fakta yang bisa kita saksikan bersama.
Sementara Ganjar, dia didaulat menjadi petugas partai. Seluruh otoritasnya sudah di-ambil oleh ketum PDIP. Di sisi lain, Ganjar berupaya meng-copy total dari Jokowi. Jokowi tidak terlihat kesungguhan upayanya untuk membuat rakyat ini damai dan bersatu. Sepertinya bukan itu yang jadi kringinan Jokowi. Jadi, Ganjar dengan apa yang dilakukannya sekarang sulit diharapkan mampu menyatukan keterbelahan.
Anies, yang selama ini distigmakan sebagai tokoh kadrun, menggantikan stigma Prabowo setelah gabung ke istana, justru cukup sukses mendamaikan warga DKI. Selama lima tahun, tidak ada kegaduhan, apalagi konflik di DKI. Hubungan antar golongan, bahkan antar kelompok politik dan antar umat beragama cukup damai. Jakarta sangat kondusif selama lima tahun di bawah kepemimpinan Anies.
Anies melayani dan merangkul semuanya. Ini kata kuncinya. Pelayanan itu soal keadilan. Dan merangkul itu soal sikap dan pola komunikasi. Di dua hal ini, Anies cukup berhasil menjaga stabilitas Jakarta.
Karena ini sudah menjadi pola kepemimpinan Anies, jika dia jadi presiden, pola ini yang akan berlaku: melayani secara adil dan merangkul semua pihak. Dari sini, konflik dengan sendirinya akan berakhir. Kadrun-cebong akan otomatis lenyap dan bubar.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies dan Fenomena Capres 2024
|
Madinah, 4 Juli 2023
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa