POLITIK - Fenomena politik menjelang pemilihan kepala daerah selalu membawa berbagai dinamika yang menarik untuk disoroti. Salah satu isu yang kerap kali muncul adalah keterlibatan aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dalam arena politik. Di tengah euforia demokrasi lokal, ada kecenderungan sejumlah calon bupati yang mencoba merangkul ASN dan P3K untuk ikut serta dalam politik praktis. Fenomena ini tidak hanya berbahaya bagi proses demokrasi, tetapi juga sangat membahayakan bagi stabilitas birokrasi dan pelayanan publik.
ASN dan P3K: Pilar Netralitas Birokrasi
ASN dan P3K adalah tulang punggung birokrasi yang harus bersikap netral dalam politik. Netralitas ini bukan sekadar prinsip normatif, tetapi menjadi syarat penting untuk menjaga profesionalisme dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketika ASN dan P3K terlibat dalam politik, mereka cenderung kehilangan independensi, karena keterlibatan mereka dapat mengaburkan batas antara birokrasi yang melayani masyarakat dan politik yang cenderung penuh kepentingan.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, dengan tegas dinyatakan bahwa ASN harus bebas dari pengaruh politik dan tidak memihak pada partai politik atau kepentingan politik tertentu. Prinsip netralitas ini dimaksudkan agar ASN dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan adil, profesional, dan tidak diskriminatif. Namun, ketika seorang calon bupati mencoba melibatkan ASN dan P3K dalam politik, netralitas tersebut dengan mudah tergerus.
Ketegangan Antara Profesionalisme dan Kepentingan Politik
Melibatkan ASN dan P3K dalam ranah politik dapat menciptakan ketegangan antara profesionalisme dan kepentingan politik. ASN dan P3K yang seharusnya fokus pada pelaksanaan tugas pemerintahan dan pelayanan publik, bisa terdorong untuk menjadi alat politik bagi calon bupati. Dalam kondisi ini, loyalitas ASN dan P3K berpotensi terpecah antara loyalitas kepada negara atau tugasnya dan kepada calon yang didukungnya.
Baca juga:
Ilham Bintang: Ya Ampun, Presiden
|
Lebih parah lagi, ketika calon bupati yang terlibat berhasil memenangkan pemilihan, ASN dan P3K yang berpihak pada calon tersebut mungkin akan mendapat keuntungan karir atau posisi strategis. Sebaliknya, mereka yang netral atau tidak mendukung calon tersebut bisa dihadapkan pada ancaman mutasi, demosi, atau bahkan penonaktifan. Hal ini tentu merusak tatanan birokrasi yang seharusnya beroperasi secara profesional dan berintegritas.
Risiko Politisasi ASN terhadap Demokrasi dan Pelayanan Publik
Keterlibatan ASN dan P3K dalam politik praktis juga membawa dampak buruk terhadap kualitas demokrasi itu sendiri. Ketika ASN dan P3K dipolitisasi, mereka bisa dijadikan mesin pemenangan oleh calon bupati, baik dengan cara menggerakkan suara secara langsung maupun dengan memberikan fasilitas administratif yang menguntungkan. Ini jelas merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam demokrasi.
Baca juga:
Zainal Bintang: Buya Syafii...
|
Selain itu, politisasi ASN dan P3K dapat mengganggu pelayanan publik yang seharusnya menjadi prioritas. Ketika birokrasi lebih fokus pada pemenangan politik ketimbang melayani masyarakat, maka kualitas pelayanan publik pasti akan menurun. ASN dan P3K yang terlibat dalam politik lebih cenderung menggunakan waktu dan sumber daya untuk kepentingan politik calon yang mereka dukung, ketimbang melayani masyarakat secara optimal.
Mengembalikan Netralitas Birokrasi
Untuk mencegah terjadinya politisasi ASN dan P3K, perlu adanya pengawasan yang ketat dari lembaga berwenang, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Keduanya memiliki peran penting dalam memastikan netralitas ASN dan P3K tetap terjaga. Selain itu, hukuman yang tegas harus diterapkan kepada ASN dan P3K yang terbukti melanggar netralitasnya.
Selain pengawasan dari lembaga resmi, masyarakat juga perlu dilibatkan dalam pengawasan ini. Masyarakat yang kritis terhadap calon bupati yang mencoba mempolitisasi ASN dan P3K dapat menjadi benteng pertama untuk menjaga demokrasi yang bersih dan berintegritas. Sebab, pada akhirnya, politisasi ASN dan P3K tidak hanya merugikan birokrasi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan proses demokrasi.
Penutup
Melibatkan ASN dan P3K dalam politik praktis adalah praktik yang berbahaya dan membahayakan. Praktik ini tidak hanya melanggar prinsip netralitas yang seharusnya dijaga, tetapi juga merusak profesionalisme birokrasi, mengganggu pelayanan publik, dan mencederai demokrasi. Oleh karena itu, semua pihak harus bersama-sama menjaga agar birokrasi tetap netral dan tidak terjebak dalam kepentingan politik sesaat.
Baca juga:
Kamijo Bangga Dengan Presiden Jokowi
|
Jakarta, 17 September 2024
Hendri Kampai
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa